Jumat, 17 Januari 2014

Konayuki (1)

Hujan di luar mungkin hanya gerimis, tapi hujan di hatiku tak kunjung-kunjung reda. Kemarin dan kemarin lusa mungkin sudah banyak hujan air mata yang jatuh sehingga menghabiskan berlembar-lembar tissu yang kini berserakan di sekelilingku. Sekarang yang kulakukan hanya duduk dengan kedua kaki kuangkat ke atas kursi sembari melihat hujan dari balik jendela. Sudah tiga hari aku berada di sini, di sebuah apartemen sederhana yang bisa dibilang lumayan dan bergaya minimalis. Apartemen itu milik seorang laki-laki yang menolongku dari kejadian yang mungkin tidak pernah aku lupakan. Apartemen ini mungkin bisa dibilang cukup rapi dan bersih untuk ukuran apartemen seorang laki-laki yang biasanya terlihat amburadul ketimbang para wanita yang identik rajin dan rapi. Di kamar tempat aku berada sekarang banyak sekali pigura-pigura yang di dalamnya ada foto-foto pemandangan alam dan sedikit foto hewan. Jarang ada foto potret diri bahkan setelah aku amati hampir tidak ada di sudut-sudut kamar ini. Ada satu foto yang tergantung tepat diatas ranjang, foto itu lumayan besar. Di dalam foto itu terdapat sebuah potret dari satu orang laki-laki jangkung dan disampingnya ada seorang wanita mengenakan sweater rajut yang tingginya sebahu dari laki-laki itu, kedua orang itu tersenyum menghadap kamera. Mungkin mereka berdua orang tua dari laki-laki itu pikirku. Karena hanya foto itu yang dicetak dalam ukuran paling besar dan di bingkai dengan pigura yang kelihatan mewah dan mahal. Sudah lewat tiga hari aku menumpang disini dan aku tidak tahu siapa namanya. Kami hanya bertemu saat dia memberi aku sepiring makanan dan kami tidak pernah saling bercakap-cakap, bahkan menyapa saja tidak. Aku hanya tersenyum kepadanya sebagai ucapan terima kasih ketika dia menyodoriku semangkuk bubur hangat tadi pagi. Hari-hari sebelumnya aku bahkan tidak menggubrisnya ketika dia masuk kamar. Aku malah sibuk melamun dalam tatapan kosong. Tapi tadi pagi ketika dia menyodoriku semangkuk bubur dia sempat berbicara padaku, katanya aku bisa memakai handuknya yang diletakkan di pinggir ranjang ketika aku ingin mandi dan untuk makan siang aku bisa memanaskan makanan beku yang disimpan di lemari pendingin. Kemudian dia pergi dan yang kudengar setelahnya pintu luar yang dibuka lalu sesaat kemudian ditutup. Lelaki itu memang tidak banyak bicara. Di hari-hari sebelumnya dia bahkan hanya menuliskan sebuah memo bersamaan sarapan pagi yang berisi "Aku memasakan makan siang dan makan malam untukmu yang aku letakkan di meja makan." Mungkin dia tidak ingin membangunkanku, memang dua hari sebelumnya aku hanya tiduran di kasur dan tidak ingin melakukan apa-apa. Tapi entah hari ini aku ingin menggerakkan sedikit badanku dan beranjak dari kasur. Ketika terbangun ternyata sedang hujan, aku memilih duduk di kursi kecil dan menggesernya sedikit biar lebih dekat dengan jendela supaya aku bisa melihat hujan. Ketika melihat hujan perasaan yang tadinya berkecamuk di dada sekarang agak mendingan. Bagiku hujan menentramkan jiwa-jiwa yang butuh kedamaian. Dengan memandangi hujan serasa masalah yang menimpaku terbawa oleh ribuan rintik-rintiknya lalu di bawa pergi jauh ke aliran sungai menuju samudra dan hilang begitu saja karena tenggelam di pusaran air laut yang deras. Andai saja semudah itu. Lamunanku buyar ketika mendengar pintu apartemen yang digedor-gedor cukup keras dari luar. Akhirnya aku keluar dari kamar dan bergegas membukakan pintu yang terkunci. Dan ketika pintu kubuka diluar terlihat seorang laki-laki yang basah kuyup, walau dia memakai jaket kulit tetap saja jaket itu tidak bisa menghalau terjangan hujan yang mendera. Lelaki itu langsung masuk apartemen setelah kami bertatapan cukup lama. Walau kami jarang bercakap-cakap tapi aku tahu laki-laki yang barusan masuk itu adalah pemilik apartemen ini. Ya, dia adalah yang sering kusebut dengan lelaki itu. Lelaki itu bergegas masuk kamar mandi setelah dia mengeringkan rambutnya dengan handuk kering dan mengganti pakaiannya yang basah. Pasti dia sudah tidak tahan dengan dinginnya air hujan dan menyegerakan untuk mandi. Aku hanya duduk di sofa ruang tamu sambil menatap layar televisi yang mati. Lalu tak lama kemudian pintu kamar mandi dibuka. Terlihat laki-laki itu dengan rambut yang masih basah dengan handuk yang dikalungkan di lehernya. 
Lelaki itu hanya menatapku sejenak kemudian berkata, "Kamu sudah agak mendingan ?". Aku hanya menganggukkan kepalaku. 
Lalu dia bertanya lagi. "Sudah makan malam ?" Aku menggelengkan kepalaku.
"Apa kau menungguku ?" tanya laki-laki itu lagi. Aku hanya menundukkan kepalaku.
Kemudian dia tertawa. "Hahahahaha...baiklah aku akan memasakkan makan malam untuk kita".
Lalu aku beranjak dari tempatku dan menuju dapur tempat laki-laki itu berada. Lelaki itu menatapku kemudian tersenyum. 
"Sudah kamu duduk saja di ruang makan". katanya sambil menyiapkan bahan-bahan makanan.
Aku terdiam sejenak. "Ayo duduk saja sana biar aku yang memasak untukmu".
Akhirnya aku terpaksa menuruti kata-katanya. Padahal aku berniat untuk membantunya memasak walau sebenarnya aku tidak bisa masak. Ya mungkin aku bisa membantunya memotong-motong sayuran atau menggoreng. Tak lama kemudian tercium bau masakan yang sudah matang dan lelaki itu menuju meja makan menyiapkan makanan diatasnya. 
"Makanlah ! Pasti kau lapar karena telah lama menungguku pulang." katanya sambil duduk di kursi makan.
Dan kami pun makan tanpa suara. Hanya suara sendok dan garpu yang bergesekkan dengan piring yang terdengar. Setelah lama kami makan dalam diam akhirnya aku memberanikan diri untuk berbicara.
"Terima kasih". kataku
"Terima kasih karena telah menolongku dan merawatku selama ini".
"Dan maaf karena baru sempat mengatakannya sekarang".
Lelaki itu hanya tersenyum sambil menatapku. Kemudian gantian dia yang berbicara kepadaku.
"Berapa umurmu ?" tanyanya.
"Dua puluh tahun" jawabku.
"Kuharap kau jauh lebih tegar menghadapi masalahmu ini. Mungkin kau trauma dan membenci lelaki setelahnya. Tapi ingat tidak semua laki-laki itu seperti itu mungkin diluar sana masih ada laki-laki yang baik ya walaupun jumlahnya jauh lebih sedikit tapi yakin saja pasti ada."
"Kau percaya kan perempuan yang baik itu untuk lelaki yang baik pula ? Tapi terkadang ada juga perempuannya baik tapi lelakinya tidak atau sebaliknya. Tapi bagiku itu ujian dari Tuhan".
"Dan jangan berlarut-larut meratapi kesedihanmu. Mungkin kau bisa melakukan kegiatan lain jika kau bosan berada di kamar terus. Besok kau bisa ikut denganku ke tempat kerjaku".
"Apa aku boleh ?" tanyaku.
"Tentu saja boleh. Tempat kerjaku menyenangkan".
"Kau....."
"Aku seorang fotografer. Besok ada pemotretan model untuk majalah. Mungkin kau bisa melihat-lihat" katanya seakan dia tau apa yang ingin aku tanyakan.
"Baiklah" jawabku sambil tersenyum kearahnya.
Kemudian kami melanjutkan menyelesaikan sisa makanan kami dalam diam.
Setelah selesai makan, aku membantunya memberesi sisa makanan dan membantunya mencuci piring, gelas dan peralatan makan lainnya serta peralatan untuk dia masak tadi. Selesai itu aku masuk kamar dan naik diatas kasur. Sebenarnya tempat ini tidak bisa disebut kamar. Ini hanya ruangan kosong yang besar yang dengan dia dijadikan kamar. Di kamar ini tidak ada pintunya seperti kebanyakan kamar-kamar di rumah. ruangan ini hanya disekat tembok dengan ruangan lainnya. Untuk ruang tamu yang dirangkap dengan ruang keluarga hanya dipisahkan oleh ruang makan dengan meja yang cukup tinggi. Ruang makan dan dapur di satu ruangan. Dimana kamar mandi ada disamping dapur. Dan tadi aku baru tersadar kalau apartemen ini hanya mempunyai satu ruangan. Jadi selama ini lelaki itu tidur di sofa di depan televisi. Aku rasa dia belum tidur karena masih terdengar suara gitar yang dipetik dari ruang tamu. Kalau di lihat-lihat dia tampan juga setelah tadi aku bisa menatapnya lama-lama tidak seperti biasanya yang hanya menatapnya tinggal lalu begitu saja. Seingatku waktu dia menolongku dia berkumis tipis dan ada jenggot tipis-tipis disekitar dagunya. Tapi tadi ketika aku meihatnya kumis dan jenggot itu sudah dicukur dan dia terlihat lebih bersih tidak seperti waktu kulihat pertama saat dia menolongku. Dia terlihat kumal dengan jaket jeans lusuh dengan warna biru tua yang sudah agak memudar. Tapi tetap saja rambutnya terlihat gondrong untuk ukuran laki-laki. Rambut yang sebahunya tidak sekalian dia cukur pikirku. Mungkin itu yang bisa dikenali orang-orang kalau dia seorang seniman. Fotografer seorang seniman juga bukan ? Ya Tuhan, aku lupa menanyakan namanya ! Mungkin besok aku bisa menanyakanya. Dan sekarang aku ingin sekali memejamkan mataku. Aku sudah sangat mengantuk sekali. Hey, apa dia tidak capek dan mengantuk setelah bekerja seharian ? Kenapa dia masih memainkan gitarnya ? Yasudahlah, mungkin aku harus tidur duluan.

Sabtu, 28 Desember 2013

"Aku dan segala yang kuinginkan dalam hidup... (1)"

"Aku dan segala yang kuinginkan dalam hidup..."
Kalimat yang kuambil dari salah satu novel favoritku, Autumn in Paris. Di mana kalimat itu oleh tokoh lelaki dituliskan pada bagian belakang sebuah foto. Di bagian depan foto itu terlihat si tokoh lelaki merangkul seorang wanita, mereka mengenakan bando berbentuk telinga Mickey Mouse dan tersenyum lebar ke arah kamera. Bagiku kalimat itu dituliskan dengan sederhana namun memiliki arti yang mendalam. Lalu, apa yang kuinginkan dalam hidup ini ? Apa yang kita inginkan dalam hidup ini ? Tentu semua orang ingin seperti tokoh lelaki itu. Hidup bahagia bersama orang yang dicintainya, bukan ? Tertawa bersama, mengunjungi tempat-tempat romantis berdua, makan malam di bawah sinar rembulan diiringi lagu-lagu romansa, menyimpan semua momen kebersamaan dengan berfoto mesra berdua, dan sebagainya. Dulu, sewaktu aku masih belia, sering sekali aku menonton kisah-kisah putri seperti Cinderella, Putri Salju, Putri Tidur dan kisah-kisah putri lainnya. Di dalam setiap cerita pasti berujung pada pertemuan dengan seorang pangeran, lalu pada akhirnya menikah dan bahagia selamanya. Dongeng-dongeng seperti itu terus merasuki tubuhku sampai aku beranjak remaja. Masih ingat, waktu itu umurku baru saja genap 14 tahun lebih. Aku duduk di bangku SMA dan baru menginjak kelas satu. Ada salah satu teman sekelasku yang menarik perhatianku, dan tentu saja dia seorang lelaki. Entah sejak kapan aku mulai menyukai lelaki itu. Padahal pada awalnya aku menganggap dia aneh, dan tentu saja dia bukan tipeku sama sekali. Tapi bagiku rasa suka itu datang secara tiba-tiba dan itu tanpa kehendakku. Lama-kelamaan rasa yang awalnya hanya sebatas suka dan tertarik saja berubah menjadi cinta. Iya, aku mencintainya bahkan sampai sekarang. Pada akhirnya kami memang pacaran. Awalnya aku merasa seperti seorang putri-putri yang sering kutonton itu. Ternyata orang yang kusukai selama ini membalas cintaku. Semuanya indah, dia datang seperti hujan yang diharapkan selama musim kemarau yang berkepanjangan. Tapi ternyata dia tidak seperti pangeran yang selama ini kuimpikan. Dia tidak romantis, bahkan bagiku dia cuek dan terlihat tidak peduli sama sekali. Dia juga bukan tipe cowok yang sering membawakan seikat bunga mawar jika datang ke rumah. Pernah suatu ketika dia memberiku mawar putih dan itu bukan bunga sungguhan. Dia juga bukan tipe lelaki yang selalu ada dan setiap malam minggu selalu mengajak keluar. Dia terlalu sibuk dengan semua kegiatan dan tugasnya, apalagi sekarang. Bahkan untuk telepon dan sms saja dia jarang. Harus aku duluan. Dia juga bukan tipe yang setiap saat mengirim sms-sms romantis, bertanya kabar, atau hanya sekadar bertanya "Lagi apa sekarang ?" , "Sudah makan belum?" dan sebagainya. Dulu. Dulu sekali, aku dan dia pernah melewati masa, masa dimana anak muda jaman sekarang. Masa dimana setiap malam minggu keluar bersama, masa di mana setiap jam bahkan setiap menit sms atau telpon. Bukannya aku sudah bosan, atau dia sudah bosan. Bukan. Sama sekali bukan malahan. Mungkin masih banyak hal lain yang harus aku urusi dan dia urusi. Masih banyak yang aku inginkan, dan dia inginkan. Bukan karena kita sudah lama lalu bosan dan tidak cinta lagi. Jujur, rasa dari empat tahun yang lalu sampai sekarang masih sama persis, baik aku ataupun dia. Bahkan bagiku senyum dia itu lebih penting daripada sms-sms dia yang hanya sekadar bertanya "Sudah makan belum ?". Memori-memori indah saat SMA dulu itu jauh lebih berarti daripada foto-foto mesra berdua. Di mana saat SMA dulu, sering setiap pelajaran olahraga aku melihat dia sedang bermain sepak bola dengan teman laki-laki sekelasku. Bahkan mataku tak hentinya melihat dia yang tengah bercucuran bermandikan keringat menendang bola kesana-kemari. Bagiku dia terlihat tampan sekali bahkan berkeringat sekalipun. Aku juga ingat, bagaimana dulu teman-teman sekelasku menggoda kami ketika duduk sebangku dan kami hanya tersenyum malu-malu. Aku juga ingat, bagaimana kami kikuk bahkan tak berani bicara berdua padahal kami sering sekelompok mata pelajaran tertentu. Aku juga ingat, dulu aku bersama temanku pernah mengukir namaku dan nama dia di pohon di lapangan voli sekolah kami, dia tidak tahu soal ini. Dan masih banyak kenangan indah waktu SMA dulu. Kehadiran dia dalam hidupku serta pertemuanku dengan dia yang mungkin terbilang jarang dan singkat itu lebih berharga. Karna aku tahu, dulu. Dulu sekali aku pernah merasa bagaimana rasanya kehilangan dan setiap malam menangis sampai dadaku sesak. Iya, itu aku dulu ketika aku pernah kehilangan dia. Aku tidak meminta dia yang sempurna untukku, tapi cukup aku yang bisa membuatnya sempurna di mata-Mu. Terima kasih banyak Tuhan karena telah memberikan orang yang mau mengerti dan menerima baik dan burukku.